PENDIDIKAN
KARAKTER, KUNCI SUKSES MENGHADAPI ZAMAN
Pendahuluan
Pendidikan
merupakan sebuah proses pembentukan jati diri seseorang yang mengarah pada dua
aspek, antara lain pada proses seseorang dalam berpikir serta pada saat
pembentukan perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut menjadi bagian
yang cukup penting untuk membangun jiwa seseorang menuju perkembangan diri di
masa yang akan datang.
Pada umumnya
pendidikan dalam hal cara berpikir seseorang dilatih dengan kemampuan-kemampuan
dasar seperti kemampuan kognitif, mengingat suatu hal dengan terstruktur, menjabarkan
suatu objek berdasarkan penalaran, atau bahkan hanya sekedar memahami inti
persoalan sesuai dengan materi yang tersirat. Kemampuan-kemampuan tersebut
tentu saja dapat membantu proses berpikir seseorang dalam mengolah suatu
persoalan secara terjabar, walaupun hal tersebut merupakan langkah awal yang
terlalu dini untuk dijadikan sebuah solusi. Akan tetapi, hal itu bisa dijadikan
pegangan awal untuk memaknai sebuah proses cara berpikir. Namun demikian, pada
kenyataannya, persoalan-persoalan dunia semakin meningkat, bahkan kadar
kesulitannya semakin rumit bersamaan dengan sistem era yang kian pelik.
Generasi dari
masa ke masa mengalami reformasi dengan berbagai inovasi yang cukup signifikan.
Katakanlah hal tersebut bermula dari generasi millennial yang mengusung
generasi 90-an, dengan kata lain generasi ini telah memasuki fase modern yang sikap
kreatifitasnya bisa diperhitungkan.
Setelah itu, zaman dan sistem mulai berubah, maka masuklah pada generasi Z
dengan pandangan-pandangan era teknologi yang semakin mutakhir dan canggih
sehingga segalanya identik dengan serba instan. Kemudian, tidak berhenti hanya
sampai hal tersebut. Generasi pun mulai berpindah pada generasi Alfa dengan era
digital yang semakin sistematis dan mudah dikonsumsi oleh siapapun sehingga hal
ini menjadikan pribadi manusia sebagai jiwa konsumtif dan produktif dalam waktu
yang bersamaan, dengan jalur yang sangat mudah dan instan. Dari berbagai
perpindahan generasi tersebut, tentu saja proses berpikir umat manusia akan
semakin diuji. Berbagai sebab akibat, serta dampak baik-buruknya hasil akan
semakin beragam berhubung masa sudah semakin krusial.
Dampak baik
dari perubahan zaman ini adalah mudahnya akses informasi dari berbagai sumber,
banyak sekali fitur dan layanan-layanan yang dapat digunakan untuk memperkaya
pengetahuan diri atau bahkan sebagai sekedar untuk relaksasi pemikiran. Selain
itu, konsep-konsep digital sudah semakin canggih sehingga dalam hal ini manusia
bisa jadi akan tergantung oleh sistem yang dibuat oleh manusia itu sendiri.
Tidak hanya itu, segala bentuk cara manual akan tergantikan dengan sistem
teknologi yang canggih sehingga segalanya menjadi cepat dan instan.
Menghadapi
banyaknya dampak positif, tentu saja akan ada pula dampak negatif yang
sejatinya patut diwaspadai. Manusia akan berada pada kondisi sikap individual
karena pada kenyataannya sistem telah menyediakan ruang sosial jarak jauh.
Dalam hal ini, tentu saja harus diwaspadai berhubung dampak-dampak seperti ini perlahan
akan menghilangkan suatu sikap lainnya seperti interaksi sosial secara nyata,
kebersamaan dan gotong royong, empati yang mendalam, atau bahkan dapat memicu hilangnya
rasa kasih sayang sebab segalanya hanya
dilakukan dengan cara yang tidak langsung. Nilai-nilai sosial yang telah
diemban oleh generasi sebelumnya perlahan memudar karena pengaruh sitem digital
yang semakin menguasai pola hidup manusia. Hal inilah menjadi garis besar yang
perlu mendapatkan perhatian penuh, serta berkaitan dengan karakter seseorang
menghadapi zaman yang semakin pintar.
Maka itu,
faktor-faktor tersebut menggambarkan bahwa manusia tidak cukup dengan hanya
berfokus pada pendidikan cara berpikir saja, akan tetapi, proses pembentukan
perilaku pun perlu diusung untuk menyeimbangkan kedinamisan zaman yang tidak
dapat terbendung lagi. Dengan kata lain, pendidikan tidak hanya menjadikan
pribadi seseorang cerdas dalam kognitif atau psikomotor saja, tapi pun lihai
dalam hal sikap/afektif. Pendidikan harus bisa menumbuhkan manusia untuk
berperilaku mandiri tapi bisa memposisikan diri untuk bekerja sama, bertanggung
jawab tapi tetap memiliki prinsip yang kuat, kritis namun tetap berjiwa
kreatif, serta yang paling penting adalah memiliki nilai moral yang luhur baik
secara jasmani maupun rohani. Segala bentuk sikap ini akan membantu sebuah
peradaban untuk mewujudkan masyarakat dalam merealisasikan konsep karakter
bangsa yang menjadi ciri khas dari bangsa itu sendiri.
Adanya
alasan-alasan tersebut tentunya sejalan dengan undang-undang No. 20 tahun 2003
tentang Sisdiknas yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan “…agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu. Cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi Negara yang demokrasi
serta bertanggung jawab” (Suyanto, 2010:1). Dalam hal ini, pendidikan dapat
membuat sikap seseorang menjadi lebih siap untuk menghadapi tantangan zaman,
menyikapi perubahan dunia yang semakin digital, serta dapat menumbuhkan rasa
kesadaran diri tentang makna pencipta akan perubahan ini, sehingga tidak
tertanam sikap yang apatis dan lupa akan nilai-nilai spiritual.
Pembahasan
Karakter
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah sifat-sifat kejiwaan,
akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari lainnya (Balai Bahasa,
2015). Dengan kata lain, pada dasarnya setiap manusia itu memiliki budi dengan
tabiatnya masing-masing. Maka dengan hal ini, manusia pun rentan berasal dari
bermacam-macam karakter yang berbeda-beda. Dengan demikian, yang diperlukan
dalam era digital ini adalah penyeragaman karakter-karakter luhur yang mampu
menyeimbangkan tantangan zaman.
Memahami
situasi dan kondisi yang sedang berlangsung, karakter-karakter yang berasal
dari nilai luhur secara universal dapat diaplikasikan dengan Sembilan
pilar yaitu karakter cinta Tuhan dan
segenap ciptaan-Nya, kemandirian dan tanggung jawab, kejujuran dan diplomatis,
hormat dan santun, dermawan dan gotong royong, percaya diri dan pekerja keras,
kepemimpinan dan keadilan, baik dan rendah hati, serta karakter toleransi,
kedamaian, dan kesatuan. (Abdul Basir, 2011:4-5). Karakter-karakter ini dapat
diajarkan secara berkesinambungan dalam model pendidikan melalui tiga tahapan
yaitu knowing good, feeling good, dan
doing good. Tahapan tersebut
diharapkan dapat menjadikan seseorang terutama generasi Alfa sebagai pribadi
yang berkarakter luhur.
Tahapan knowing good, seseorang bisa meraup
segala bentuk informasi, sehingga seharusya wawasan akan lebih kaya dibanding
generasi sebelumnya sebab akses menuju proses tersebut sangat mudah didapat.
Dalam hal ini, tentunya pribadi seseorang mampu mengelompokan jenis manfaat
sesuai fungsinya masing-masing, serta mampu menangkal informasi yang bersifat
hoax.
Tahapan
selanjutnya adalah feeling good,
setiap pribadi manusia diharapkan mampu meningkatkan kepekaannya terhadap dunia
sekitar sehingga mampu mengikuti arus perkembangan zaman namun tetap berprinsip
kuat dan positif. Selalu menerima perubahan serta bersedia menanggalkan
aturan-aturan yang telah usang. Memiliki perasaan yang kuat akan menghadirkan
sebuah perilaku yang tidak hanya sekadar simpati, tapi juga jauh melampaui
empati sehingga rasa kepedulian antar sesama dapat terbina dengan baik.
Tahapan
terakhir yaitu doing good, setelah
proses pemaknaan tahap 1 dan 2 terpenuhi, maka yang dibutuhkan manusia adalah
aksi dan tindakkan. Sebuah argumen hanya akan tetap argumen tanpa dilandasi
tindakkan atas diri sendiri. Bersikap kritis dan berani mengemukakan opini
adalah hal mendasar untuk mewujudkan pribadi yang kontributif. Belajar
menghasilkan karya sebagai bentuk pengembangan diri agar menjadi pribadi yang
produktif. Sebuah aksi nyata akan lebih baik ketimbang hanya berbicara saja.
Dari semua
tahapan yang telah dijalankan, maka tentunya tidak akan seimbang tanpa ditopang
dengan sebuah karakter yang paling mewakili dari semua karakter yang ada, yaitu
karakter spiritual yang kuat. Meskipun dunia semakin maju, penemuan seakan di
luar nalar, akan tetapi jiwa masih tetap memangku dan bersukur akan-Nya, sehingga
tidak menimbulkan paham yang secara tidak langsung dapat menjerumuskan pribadi
seseorang pada kenistaan. Tidak ada lagi konsep keilmuan yang sejatinya
terlahir baik, kemudian ditempatkan pada kesalahartian yang dapat menimbulkan
kezaliman. Seorang cendekiawan namun berbuat penyimpangan korupsi, seorang
tokoh agama namun melakukan penyimpangan pelecehan, atau berbagai lini hasil
pendidikan lainnya yang ternyata banyak digunakan pada jalan yang bukan pada
tempatnya.
Penanaman
karakter yang luhur dapat dimulai dari tunas-tunas penerus bangsa yang
sejatinya masih mudah dibentuk. Seperti penerapan karakter di usia dini.
Tentunya pada masa-masa ini implementasi akhlak lebih efektif dilakukan karena
pengaruh dari berbagai sisi belum terlalu kuat tertanam. Selain itu, daya
serapnya pun lebih cepat dan tanggap sehingga hal ini memudahkan para pendidik
dalam membangun pondasi awal generasi yang akan datang. Terlebih konsep
karakter merupakan proses yang mengualifikasi seorang pribadi, sehingga jika
karakter tersebut semakin matang, maka akan semakin mudah untuk diukur
hasilnya.
Salah satu
contoh nyata adalah sikap luhur yang ditanam oleh Negara Jepang. Masyarakat
Jepang mengimplementasikan nilai karakter di mulai dari sejak dini. Anak-anak
SD dari mulai kelas 1-4 tidak terlalu dititikberatkan pada nilai kognitif, akan
tetapi lebih kepada nilai afektif dan psikomotor. Pendidik melatih siswa
tentang bagaimana caranya bersikap sopan santun, membudayakan senyum, serta
peka terhadap situasi. Bagaimana menghormati dan menghargai sesama, bahkan
menjungjung tinggi nilai kejujuran yang menjadi modal sukses setiap individu. Tidak
hanya itu, anak-anak Jepang pun dilatih untuk bertanggung jawab dan disiplin,
tentang bagaimana cara mengelola waktu seefektif mungkin sehingga tidak
terbuang percuma, atau guru-guru mengajarkan siswanya untuk belajar bertanggung
jawab melalui praktik membersihkan kelas sehingga budaya kebersihan dapat
mengakar sampai di masa mendatang. Tentu saja hal tersebut membutuhkan
perjuangan yang tidak mudah, akan tetapi dengan kesabaran dan konsistensi,
sehingga masyarakat Jepang mayoritasnya memiliki sikap yang berbudi pekerti
luhur. Meskipun tidak semua hal bisa dijadikan figure, akan tetapi setidaknya
hal tersebut bisa dicontoh dari beberapa sikap moral yang patut ditiru. Dengan
begitu, meskipun zaman telah berubah, era telah bereformasi namun Jepang tetaplah
Jepang dengan karakter khas yang bahkan menjadi simbol Negara.
Berkaitan
dengan hal tersebut, tujuan pendidikan karakter sejalan dengan mendorong setiap
pribadi untuk senantiasa berperilaku terpuji, baik dalam segi pandangan secara
budaya, kesepakatan sosial, maupun religiositas agama. Dengan karakter luhur,
seseorang dapat terpupuk ketegaran dan kepekaan mental terhadap situasi
sekitarnya, sehingga tidak mudah terjerumus kepada perilaku yang menyimpang,
baik secara individual maupun sosial.
Segala
bentuk upaya sebaiknya tetap dilakukan demi terwujudnya kemajuan bangsa.
Sementara itu, pendidikan karakter merupakan salah satu upaya untuk
mewujudkannya. Masyarakat dunia harus lebih siap menghadapi perkembangan zaman,
maka hanya dengan pendidikan karakterlah pribadi seseorang mampu menyeimbangkan
era yang sudah semakin pintar ini. Sudah saatnya setiap pribadi berbenah dan
menghadapi tantangan zaman.
Sumber:
1.
Laksana, S Dwi. 2015. Urgensi Pendidikan Karakter Bangsa di
Sekolah. Jurnal Muaddib. eprints.umpo.ac.id
2.
KBBI Bahasa Indonesia, edisi V.