Friday, January 31, 2020

CONTOH KARYA TULIS "PENDIDIKAN KARAKTER, KUNCI SUKSES MENGHADAPI ZAMAN"


PENDIDIKAN KARAKTER, KUNCI SUKSES MENGHADAPI ZAMAN

Pendahuluan
Pendidikan merupakan sebuah proses pembentukan jati diri seseorang yang mengarah pada dua aspek, antara lain pada proses seseorang dalam berpikir serta pada saat pembentukan perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut menjadi bagian yang cukup penting untuk membangun jiwa seseorang menuju perkembangan diri di masa yang akan datang.
Pada umumnya pendidikan dalam hal cara berpikir seseorang dilatih dengan kemampuan-kemampuan dasar seperti kemampuan kognitif, mengingat suatu hal dengan terstruktur, menjabarkan suatu objek berdasarkan penalaran, atau bahkan hanya sekedar memahami inti persoalan sesuai dengan materi yang tersirat. Kemampuan-kemampuan tersebut tentu saja dapat membantu proses berpikir seseorang dalam mengolah suatu persoalan secara terjabar, walaupun hal tersebut merupakan langkah awal yang terlalu dini untuk dijadikan sebuah solusi. Akan tetapi, hal itu bisa dijadikan pegangan awal untuk memaknai sebuah proses cara berpikir. Namun demikian, pada kenyataannya, persoalan-persoalan dunia semakin meningkat, bahkan kadar kesulitannya semakin rumit bersamaan dengan sistem era yang kian pelik.
Generasi dari masa ke masa mengalami reformasi dengan berbagai inovasi yang cukup signifikan. Katakanlah hal tersebut bermula dari generasi millennial yang mengusung generasi 90-an, dengan kata lain generasi ini telah memasuki fase modern yang sikap kreatifitasnya  bisa diperhitungkan. Setelah itu, zaman dan sistem mulai berubah, maka masuklah pada generasi Z dengan pandangan-pandangan era teknologi yang semakin mutakhir dan canggih sehingga segalanya identik dengan serba instan. Kemudian, tidak berhenti hanya sampai hal tersebut. Generasi pun mulai berpindah pada generasi Alfa dengan era digital yang semakin sistematis dan mudah dikonsumsi oleh siapapun sehingga hal ini menjadikan pribadi manusia sebagai jiwa konsumtif dan produktif dalam waktu yang bersamaan, dengan jalur yang sangat mudah dan instan. Dari berbagai perpindahan generasi tersebut, tentu saja proses berpikir umat manusia akan semakin diuji. Berbagai sebab akibat, serta dampak baik-buruknya hasil akan semakin beragam berhubung masa sudah semakin krusial.



Dampak baik dari perubahan zaman ini adalah mudahnya akses informasi dari berbagai sumber, banyak sekali fitur dan layanan-layanan yang dapat digunakan untuk memperkaya pengetahuan diri atau bahkan sebagai sekedar untuk relaksasi pemikiran. Selain itu, konsep-konsep digital sudah semakin canggih sehingga dalam hal ini manusia bisa jadi akan tergantung oleh sistem yang dibuat oleh manusia itu sendiri. Tidak hanya itu, segala bentuk cara manual akan tergantikan dengan sistem teknologi yang canggih sehingga segalanya menjadi cepat dan instan.
Menghadapi banyaknya dampak positif, tentu saja akan ada pula dampak negatif yang sejatinya patut diwaspadai. Manusia akan berada pada kondisi sikap individual karena pada kenyataannya sistem telah menyediakan ruang sosial jarak jauh. Dalam hal ini, tentu saja harus diwaspadai berhubung dampak-dampak seperti ini perlahan akan menghilangkan suatu sikap lainnya seperti interaksi sosial secara nyata, kebersamaan dan gotong royong, empati yang mendalam, atau bahkan dapat memicu hilangnya rasa kasih sayang  sebab segalanya hanya dilakukan dengan cara yang tidak langsung. Nilai-nilai sosial yang telah diemban oleh generasi sebelumnya perlahan memudar karena pengaruh sitem digital yang semakin menguasai pola hidup manusia. Hal inilah menjadi garis besar yang perlu mendapatkan perhatian penuh, serta berkaitan dengan karakter seseorang menghadapi zaman yang semakin pintar.
Maka itu, faktor-faktor tersebut menggambarkan bahwa manusia tidak cukup dengan hanya berfokus pada pendidikan cara berpikir saja, akan tetapi, proses pembentukan perilaku pun perlu diusung untuk menyeimbangkan kedinamisan zaman yang tidak dapat terbendung lagi. Dengan kata lain, pendidikan tidak hanya menjadikan pribadi seseorang cerdas dalam kognitif atau psikomotor saja, tapi pun lihai dalam hal sikap/afektif. Pendidikan harus bisa menumbuhkan manusia untuk berperilaku mandiri tapi bisa memposisikan diri untuk bekerja sama, bertanggung jawab tapi tetap memiliki prinsip yang kuat, kritis namun tetap berjiwa kreatif, serta yang paling penting adalah memiliki nilai moral yang luhur baik secara jasmani maupun rohani. Segala bentuk sikap ini akan membantu sebuah peradaban untuk mewujudkan masyarakat dalam merealisasikan konsep karakter bangsa yang menjadi ciri khas dari bangsa itu sendiri.
Adanya alasan-alasan tersebut tentunya sejalan dengan undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan “…agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu. Cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi Negara yang demokrasi serta bertanggung jawab” (Suyanto, 2010:1). Dalam hal ini, pendidikan dapat membuat sikap seseorang menjadi lebih siap untuk menghadapi tantangan zaman, menyikapi perubahan dunia yang semakin digital, serta dapat menumbuhkan rasa kesadaran diri tentang makna pencipta akan perubahan ini, sehingga tidak tertanam sikap yang apatis dan lupa akan nilai-nilai spiritual.
Pembahasan
Karakter menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari lainnya (Balai Bahasa, 2015). Dengan kata lain, pada dasarnya setiap manusia itu memiliki budi dengan tabiatnya masing-masing. Maka dengan hal ini, manusia pun rentan berasal dari bermacam-macam karakter yang berbeda-beda. Dengan demikian, yang diperlukan dalam era digital ini adalah penyeragaman karakter-karakter luhur yang mampu menyeimbangkan tantangan zaman.
Memahami situasi dan kondisi yang sedang berlangsung, karakter-karakter yang berasal dari nilai luhur secara universal dapat diaplikasikan dengan Sembilan pilar  yaitu karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya, kemandirian dan tanggung jawab, kejujuran dan diplomatis, hormat dan santun, dermawan dan gotong royong, percaya diri dan pekerja keras, kepemimpinan dan keadilan, baik dan rendah hati, serta karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan. (Abdul Basir, 2011:4-5). Karakter-karakter ini dapat diajarkan secara berkesinambungan dalam model pendidikan melalui tiga tahapan yaitu knowing good, feeling good, dan doing good.  Tahapan tersebut diharapkan dapat menjadikan seseorang terutama generasi Alfa sebagai pribadi yang berkarakter luhur.
Tahapan knowing good, seseorang bisa meraup segala bentuk informasi, sehingga seharusya wawasan akan lebih kaya dibanding generasi sebelumnya sebab akses menuju proses tersebut sangat mudah didapat. Dalam hal ini, tentunya pribadi seseorang mampu mengelompokan jenis manfaat sesuai fungsinya masing-masing, serta mampu menangkal informasi yang bersifat hoax.
Tahapan selanjutnya adalah feeling good, setiap pribadi manusia diharapkan mampu meningkatkan kepekaannya terhadap dunia sekitar sehingga mampu mengikuti arus perkembangan zaman namun tetap berprinsip kuat dan positif. Selalu menerima perubahan serta bersedia menanggalkan aturan-aturan yang telah usang. Memiliki perasaan yang kuat akan menghadirkan sebuah perilaku yang tidak hanya sekadar simpati, tapi juga jauh melampaui empati sehingga rasa kepedulian antar sesama dapat terbina dengan baik.
Tahapan terakhir yaitu doing good, setelah proses pemaknaan tahap 1 dan 2 terpenuhi, maka yang dibutuhkan manusia adalah aksi dan tindakkan. Sebuah argumen hanya akan tetap argumen tanpa dilandasi tindakkan atas diri sendiri. Bersikap kritis dan berani mengemukakan opini adalah hal mendasar untuk mewujudkan pribadi yang kontributif. Belajar menghasilkan karya sebagai bentuk pengembangan diri agar menjadi pribadi yang produktif. Sebuah aksi nyata akan lebih baik ketimbang hanya berbicara saja.

Dari semua tahapan yang telah dijalankan, maka tentunya tidak akan seimbang tanpa ditopang dengan sebuah karakter yang paling mewakili dari semua karakter yang ada, yaitu karakter spiritual yang kuat. Meskipun dunia semakin maju, penemuan seakan di luar nalar, akan tetapi jiwa masih tetap memangku dan bersukur akan-Nya, sehingga tidak menimbulkan paham yang secara tidak langsung dapat menjerumuskan pribadi seseorang pada kenistaan. Tidak ada lagi konsep keilmuan yang sejatinya terlahir baik, kemudian ditempatkan pada kesalahartian yang dapat menimbulkan kezaliman. Seorang cendekiawan namun berbuat penyimpangan korupsi, seorang tokoh agama namun melakukan penyimpangan pelecehan, atau berbagai lini hasil pendidikan lainnya yang ternyata banyak digunakan pada jalan yang bukan pada tempatnya.
Penanaman karakter yang luhur dapat dimulai dari tunas-tunas penerus bangsa yang sejatinya masih mudah dibentuk. Seperti penerapan karakter di usia dini. Tentunya pada masa-masa ini implementasi akhlak lebih efektif dilakukan karena pengaruh dari berbagai sisi belum terlalu kuat tertanam. Selain itu, daya serapnya pun lebih cepat dan tanggap sehingga hal ini memudahkan para pendidik dalam membangun pondasi awal generasi yang akan datang. Terlebih konsep karakter merupakan proses yang mengualifikasi seorang pribadi, sehingga jika karakter tersebut semakin matang, maka akan semakin mudah untuk diukur hasilnya.
Salah satu contoh nyata adalah sikap luhur yang ditanam oleh Negara Jepang. Masyarakat Jepang mengimplementasikan nilai karakter di mulai dari sejak dini. Anak-anak SD dari mulai kelas 1-4 tidak terlalu dititikberatkan pada nilai kognitif, akan tetapi lebih kepada nilai afektif dan psikomotor. Pendidik melatih siswa tentang bagaimana caranya bersikap sopan santun, membudayakan senyum, serta peka terhadap situasi. Bagaimana menghormati dan menghargai sesama, bahkan menjungjung tinggi nilai kejujuran yang menjadi modal sukses setiap individu. Tidak hanya itu, anak-anak Jepang pun dilatih untuk bertanggung jawab dan disiplin, tentang bagaimana cara mengelola waktu seefektif mungkin sehingga tidak terbuang percuma, atau guru-guru mengajarkan siswanya untuk belajar bertanggung jawab melalui praktik membersihkan kelas sehingga budaya kebersihan dapat mengakar sampai di masa mendatang. Tentu saja hal tersebut membutuhkan perjuangan yang tidak mudah, akan tetapi dengan kesabaran dan konsistensi, sehingga masyarakat Jepang mayoritasnya memiliki sikap yang berbudi pekerti luhur. Meskipun tidak semua hal bisa dijadikan figure, akan tetapi setidaknya hal tersebut bisa dicontoh dari beberapa sikap moral yang patut ditiru. Dengan begitu, meskipun zaman telah berubah, era telah bereformasi namun Jepang tetaplah Jepang dengan karakter khas yang bahkan menjadi simbol Negara.

Berkaitan dengan hal tersebut, tujuan pendidikan karakter sejalan dengan mendorong setiap pribadi untuk senantiasa berperilaku terpuji, baik dalam segi pandangan secara budaya, kesepakatan sosial, maupun religiositas agama. Dengan karakter luhur, seseorang dapat terpupuk ketegaran dan kepekaan mental terhadap situasi sekitarnya, sehingga tidak mudah terjerumus kepada perilaku yang menyimpang, baik secara individual maupun sosial.
            Segala bentuk upaya sebaiknya tetap dilakukan demi terwujudnya kemajuan bangsa. Sementara itu, pendidikan karakter merupakan salah satu upaya untuk mewujudkannya. Masyarakat dunia harus lebih siap menghadapi perkembangan zaman, maka hanya dengan pendidikan karakterlah pribadi seseorang mampu menyeimbangkan era yang sudah semakin pintar ini. Sudah saatnya setiap pribadi berbenah dan menghadapi tantangan zaman.

Sumber:
1.      Laksana, S Dwi. 2015. Urgensi Pendidikan Karakter Bangsa di Sekolah. Jurnal Muaddib. eprints.umpo.ac.id
2.      KBBI Bahasa Indonesia, edisi V.


No comments:

Post a Comment

3 HARI DI CAMBODIA, NGAPAIN AJA??

 Hello Guys, bertemu lagi dengan gue, kali ini gue mau sharing tentang pengalaman backpacker selama 10 hari ke cambodia (3 hari) dan Vietnam...